Self diagnosis adalah upaya mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang Anda dapatkan secara mandiri, bahkan pengalaman sakit Anda di masa lalu
Hampir semua orang Indonesia memiliki internet di genggamannya hampir 24 jam sehari. Kini, ketika seseorang merasakan perasaan tidak nyaman dan kebingungan mengenai kondisi mental, mereka mungkin mencoba mencari informasi mengenai kesehatan mental di internet dan kemudian melakukan self-diagnosis gangguan mental kepada mereka sendiri.
Self diagnosis adalah upaya mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang Anda dapatkan secara mandiri, misalnya dari teman atau keluarga, bahkan pengalaman sakit Anda di masa lalu.
Self-diagnosis berbahaya karena orang kemungkin sampai pada tahap kesimpulan yang salah terkait kondisi kesehatannya dan mengambil keputusan yang tidak sesuai yang nantinya akan mengakibatkan penanganan yang salah dan buruknya lagi mereka akan melabeli diri mereka bahawa sebagai orang yang bermasalah ataupun memiliki hal negatif di diri mereka. Konsekuensi dari orang yang salah dalam self-diagnosis adalah ketidakstabilan hubungan interpersonal.
Mendiagnosa masalah gangguan mental tidak mudah karena diperlukan keahlian khusus dan pengetahuan mengenai diagnosis masalah, gangguan, atau sindrom mental.
Masalah ini terjadi karena adanya keterbatasan biaya, waktu, kendala akses terhadap pelayanan kesehatan, kondisi mental dari pasien yang belum siap untuk berobat, dan juga ketidaktahuan pasien tentang adanya tenaga kesehatan profesional yang bisa mengobati bisa mendorong orang untuk melakukan self-diagnosis.
Namun malahan saat ini muncul persepsi bahwa gangguan mental itu “keren” dan adanya informasi di internet, memperparah tren self-diagnosis ini. Tren ini mulai muncul setelah ditayangkannya flm “Joker” yang menampilkan pemain utamanya yang memiliki masalah kejiwaan yaitu Pseudobulbar Affect ( suatu kondisi di mana seseorang tiba-tiba tertawa atau menangis tanpa dipicu oleh sebab apapun).
Jika tren ini terus berlanjut maka ditakutnya banyak orang yang mengnggap dirinya memiliki masalah kejiwaan yang ditanamkan ke diri mereka sehingga adanya gangguan hubungan interpersonal, melupakan jati diri mereka sebenarnya, depresi atau bahkan akan mengalami masalah kejiwaaan yang lebih berat.
Jika tren ini terus berlanjut maka ditakutnya banyak orang yang mengnggap dirinya memiliki masalah kejiwaan yang ditanamkan ke diri mereka sehingga adanya gangguan hubungan interpersonal, melupakan jati diri mereka sebenarnya, depresi atau bahkan akan mengalami masalah kejiwaaan yang lebih berat.
Informasi dari Internet dan media lainnya tidak dapat digunakan untuk melakukan self-diagnosis terhadap gangguan mental (maupun penyakit fisik), yang belum tentu benar orang idap. Meningkatkan kesadaran diri atas kesehatan mental itu penting, sangatlah diperlukan. Hanya saja, membekali diri dengan pengetahuan, tidak sama dengan melakukan self-diagnosis.
Informasi dan pengetahuan yang didapat dari luar sana seharusnya hanya dijadikan sebagai alat bantu untuk mencari bantuan profesional. Berkonsultasi dengan ahli kejiwaan dan menemui dokter, adalah satu-satunya langkah untuk mengetahui diagnosis yang akurat, serta mendapatkan penanganan yang tepat.
Maka dari itu pentinglah mencari informasi yang terpercaya, setelah itu bandingkan satu informasi yang didapat dengan informasi lainnya. Jika data tersebut menunjukkan hasil diagnosiis yang sesuai, itu tidak dapat dijadikan sebuah kesimpulan karena masih banyak lagi faktor resiko lainnya yang mungkin tidak dijelaskan. Jadi sangatlah penting dalam mencari informasi yang valid dari ahlinya.